Ketika Nenek Pergi, Barulah Aku Mengerti

Ketika Nenek Pergi, Barulah Aku Mengerti

Hai semuanya, aku adalah salah satu siswi SMA Negeri 9 Garut yang saat ini sedang duduk di bangku kelas 3. Aku mempunyai kisah yang bisa kalian jadikan sebagai pelajaran hidup. Beberapa bulan lalu, aku mengalami kejadian yang penuh dengan penyesalan. Aku kehilangan seseorang yang sangat berharga, yaitu Nenek yang sangat aku sayangi. Dia adalah teman sekaligus tempat untuk mencurahkan segala keluh kesahku. Saat susah, senang, bahagia, terluka, dan kecewa, dia selalu ada untukku.

Pada tahun 2023, saat aku akan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, nenekku menyarankan untuk melanjutkan masuk ke Pesantren. Sejak kecil, nenek selalu menasehatiku agar aku melanjutkan sekolah ke Pesantren. Katanya, di sana aku bisa belajar bukan hanya tentang ilmu dunia, tetapi juga ilmu agama. Tapi, waktu itu aku keras kepala dan tetap berpegang teguh pada keinginanku. Aku lebih memilih masuk SMA, bukan masuk ke Pesantren. Karena, aku pikir di SMA aku bisa punya banyak teman, bisa lebih bebas, dan hidupku akan terasa menyenangkan.

Nenekku mungkin kecewa, karena aku tidak mengikuti saran dan nasehatnya. Namun, nenek tidak pernah memaksa, dan beliau hanya tersenyum lalu berkata, “Suatu hari, kamu akan mengerti, Nak.”, ucapnya. Mendengar ucapan itu, aku menganggap bahwa itu hanya ucapan orang tua yang terlalu khawatir terhadap cucunya.

Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya aku mulai sekolah di SMA yang aku pilih. Tapi entah kenapa, setiap kali aku pulang dan melihat nenek duduk di teras sambil mengaji, ada rasa bersalah yang tidak bisa kujelaskan. Hampir setiap hari, setiap aku pulang sekolah atau mengaji, aku selalu menyempatkan waktu untuk ngobrol dengan beliau. Di sana, aku selalu bercerita tentang kehidupanku padanya. Tidak jarang, aku bercerita sambil meneteskan air mata. Nenek lah yang menenangkanku dan selalu memberi semangat dalam setiap perjalanan hidup yang kulalui. Tidak jarang di sela obrolan, nenek selalu mengatakan, “Nak, kamu masuk pesantren saja.”. Hampir setiap hari kalimat itu selalu nenek ucapkan, sehingga membuatku semakin merasa bersalah.

Suatu pagi, nenek kembali mengatakan kalimat itu. Kalimat yang menyuruhku untuk masuk Pesantren. Namun pagi itu, ucapannya sedikit berbeda karena ada beberapa pesan lain. “Nak, kenapa kamu tidak masuk Pesantren saja? Kamu harus ingat, tujuan kita hidup di dunia itu untuk mengejar akhirat, bukan hanya dunia semata. Nak, tidak selamanya nenek akan selalu ada di sisimu, adakalanya suatu saat nanti nenek akan pergi meninggalkanmu.”, ucapnya dengan lembut.

Mendengar ucapan itu, dan melihat nenek meneteskan air mata, tanpa sadar air mataku pun ikut jatuh tak terbendung. Refleks aku memeluknya, dan mengucapkan maaf karena aku tidak menuruti sarannya untuk masuk Pesantren. Ucapan itu ternyata menjadi pesan terakhir yang beliau sampaikan padaku. Karena, pada hari itu juga nenek menghembuskan napas terakhir, dan meninggalkanku selama-lamanya.

Sejak hari itu, penyesalan menjadi bagian dari hidupku. Aku sadar, ternyata pilihan yang kuanggap benar justru membuatku kehilangan kesempatan untuk berbakti dan membahagiakan nenek di sisa hidupnya. Andai waktu bisa kuputar kembali, aku ingin menuruti semua permintaan nenek.

Aku memang tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi aku bisa memperbaiki diri dari sekarang. Aku berusaha lebih dekat lagi dengan Allah SWT dan mencoba menjalankan apa yang pernah nenek ajarkan. Meskipun nenek sudah tidak ada, tapi aku ingin setidaknya doaku bisa sampai untuknya. Pada setiap sujudku, hati selalu berucap lirih, “Maafkan aku, Nek. Aku janji akan berusaha menjadi cucu yang engkau harapkan.”

 

Kesimpulan dan Hikmah

  1. Islam

Nasihat nenek tentang Pesantren, mengingatkan agar hidup selalu dekat dengan ilmu agama. Dari cerita itu, aku belajar bahwa islam mengajarkan untuk taat kepada Allah SWT dan menghormati orang tua.

  1. Iman

Penyesalan ketika nenek meninggal, kujadikan pelajaran untuk tidak lupa bahwa hidup dan mati sudah diatur oleh Allah SWT. Dengan iman, aku belajar menerima takdir, dan selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi kesalahan yang sama.

  1. Ihsan

Meskipun nenek sudah tiada, aku tetap berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik, mendekatkan diri kepada Allah, dan juga mengirim doa untuknya.

 

 


Oleh:

Qonita Nur Aropah, Nabila Siti Zahro, Anggri Naura, Fika Asifa Nur Hikmah, Anya Purnama Syafitri, M. Rapil Fauzan, Arya Dedi Nur Ramansyah.

Kelas: XII – 12

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *